NU Trangkil

Berpihaklah Kepada Rakyat, Wahai Sang Pemimpin

 

KH. Abdurrahman Wahid sering menyampaikan kaidah fiqh:

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة 

Tindakan atau kebijakan pemimpin (imam) terhadap rakyatnya haruslah didasarkan pada prinsip kemaslahatan atau kebaikan.

KH. MA. Sahal Mahfudh sering menyampaikan bahwa kemaslahatan primer dapat diungkapkan dengan istilah basic needs, yaitu kebutuhan-kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar rakyat adalah sandang, pangan, dan papan, yang kini berkembang mencakup kesehatan dan pendidikan.

Seorang pemimpin harus mampu membuat kebijakan serta mengalokasikan anggaran yang cukup untuk memenuhi basic needs masyarakat. Masih banyak rakyat yang masuk kategori miskin, bahkan miskin ekstrem, yang membutuhkan kehadiran pemimpin.

Habib M. Quraish Shihab dalam buku Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Qur'an menegaskan bahwa kepemimpinan bukan keistimewaan, tetapi tanggung jawab; pengorbanan bukan fasilitas; kerja keras bukan leha-leha; kewenangan adalah untuk melayani, bukan untuk kesewenang-wenangan bertindak; kepemimpinan berarti keteladanan dalam berbuat dan kepeloporan dalam bertindak.

Lebih lanjut, Habib Quraish menjelaskan bahwa dalam Al-Qur'an, pemimpin diistilahkan sebagai imam dan khalifah, karena seorang pemimpin memiliki dua peran: sekali berada di depan untuk menjadi panutan (ing ngarso sung tulodo) dan sekali lagi mendorong serta mengikuti kehendak rakyatnya untuk mencapai tujuan bersama (tut wuri handayani).

Melihat beratnya tugas seorang pemimpin, Imam Al-Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyah menerangkan beberapa kriteria kepemimpinan, antara lain:
1. Adil
2. Kompetensi konseptual dan teknis
3. Fisik yang prima
4. Dinamis (sur'atun nuhudl - cepat bergerak)
5. Memiliki strategi yang matang
6. Memiliki keberanian

Pikirkan Rakyat Miskin

Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Asybah wan Nadhair menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mengutamakan rakyat yang sangat membutuhkan. Jika seorang pemimpin lebih mementingkan kalangan elite dibandingkan rakyat kecil seperti petani, nelayan, pedagang kaki lima, dan buruh, maka keadilannya akan hilang.

Maka, sebelum membuat kebijakan, pemimpin seyogianya melakukan langkah-langkah konkret, antara lain:
Pertama, Turun ke lapangan untuk mengetahui dan menyaksikan langsung kondisi riil rakyat, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Gubernur Jawa Barat saat ini. Banyak rakyat yang setiap hari berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok, dan sering kali penghasilan harian mereka tidak mencukupi kebutuhan primer keluarganya.
Kedua, Mendengar masukan dari berbagai pihak, terutama dari para kiai, akademisi, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, media, dan mereka yang sehari-hari berhadapan langsung dengan problematika rakyat.
Ketiga, Menerapkan prinsip kolektif-kolegial, dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam membuat kebijakan pro-rakyat yang berorientasi pada kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan.

Jangan Susahkan Rakyat

Pemimpin harus hadir sebagai oase yang menyegarkan dan membangkitkan semangat rakyat dalam menjalani kehidupan serta meraih impian masa depan yang lebih baik. Jangan sampai kebijakan pemimpin justru menindas, menyengsarakan, dan menjerumuskan rakyat ke dalam kehancuran di berbagai aspek kehidupan.

Teladanilah Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz, yang mencurahkan segala sumber daya—baik manusia, ekonomi, teknologi, maupun alam—untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemimpin sejati adalah orang yang pertama kali lapar saat krisis melanda, dan yang terakhir kenyang saat ekonomi melimpah.

Semoga Allah membimbing para pemimpin kita agar istiqamah dalam memikirkan dan berjuang menyejahterakan rakyat, serta terhindar dari tindakan dan kebijakan yang menindas serta menyengsarakan rakyat. Aamiin.

Wallahu A'lam Bish Shawab.

Penulis : Dr. KH. Jamal Makmur Asmani, M.A. adalah A'wan MWC NU Trangkil, Wakil Ketua PCNU Pati dan Dosen di Institut Pesantren Mathali'ul Falah Kajen Pati Jawa Tengah.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama