NU Trangkil

MENELADANI PROGRESIVITAS IBRAHIM

 Oleh: Dr. Jamal Ma’mur, M.A.*


Peringatan hari raya Idul Adha jatuh pada hari Jumat, 6 Juni 2025 yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah 1446. Momentum ini harus dimanfaatkan untuk meneladani progresivitas Nabi Ibrahim yang mampu membawa kemajuan di segala aspek kehidupan. Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, menjadi aktor utama di balik hari raya Iduladha ini. Totalitas pengabdian dan pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi good model dalam membumikan Islam rahmatan lil-‘alamin.

Pelajaran berharga dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail adalah peneguhan bahwa Islam adalah agama kemanusiaan yang menghargai hak asasi manusia. Islam bukan agama yang menghalalkan dehumanisasi dalam bentuk pengorbanan manusia sebagai makhluk mulia yang diciptakan Allah di muka bumi.

Tugas manusia menurut KH. MA. Sahal Mahfudh (1994) adalah menyembah Allah (‘ibadatullah) dan ‘imaratul ardli (meramaikan bumi). Hal ini tidak lepas dari identitas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi yang harus membumikan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, kerukunan, kemanusiaan, dan kebahagiaan lahir batin. Doktrin yang dibawa Nabi Ibrahim dalam membumikan Islam sangat dinamis dan progresif.

Progresivitas doktrin yang diperjuangkan Nabi Ibrahim dapat dilihat dari banyak hal:

Pertama, membangun Ka’bah di Mekah atas perintah Allah. Ka’bah adalah kiblat umat Islam dalam menjalankan salat yang menjadi destinasi religius paling tinggi bagi umat Islam. Hal ini harus mendorong umat Islam untuk mampu membangun sesuatu yang fenomenal dan sangat bermanfaat bagi generasi selanjutnya dalam jangka panjang. Dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:127 disebutkan:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’”

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ayat ini bermaksud mengingatkan Nabi Muhammad tentang perjuangan Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail ketika membangun Baitullah dan meninggikan dasar-dasarnya (Ibnu Katsir, 1:166).

Kedua, optimalisasi daya pikir kritis-filosofis. Akidah Islam yang dipegang Nabi Ibrahim berangkat dari refleksi kritis rasional sampai menemukan kebenaran hakiki. Nabi Ibrahim bertanya secara kritis ketika diberitahu tentang eksistensi Tuhan. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Al-An‘am [6]:75–79. Menurut Nurcholish Madjid (2002), tauhid yang sebenarnya adalah tauhid yang tidak terdapat unsur mentuhankan selain Dzat Yang Abadi. Selain Allah adalah relatif. Hanya Allah Yang Abadi, sehingga tidak boleh disekutukan dengan apa pun dan siapa pun.

Ketiga, gemar bersedekah. Nabi Ibrahim adalah sosok yang sangat dermawan. Sebelum beliau mengonsumsi makanan, maka beliau mencari teman yang bisa diajak makan. Sedekah dalam kitab Ushfuriyah menjadikan harta banyak, besar, menjaga pemiliknya, merekatkan hubungan, menjadi obat penyakit, meredam murka Allah, dan menyelamatkan dari berbagai musibah. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. An-Nahl [16]:121–122:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan, lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Rabb), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.”

Keempat, sukses dalam kaderisasi. Nabi Ibrahim adalah sosok Nabi yang sangat memperhatikan keturunannya. Pendidikan keluarga mendapat prioritas utama. Beliau mendidik dengan sepenuh hati dan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah supaya keturunannya dijadikan hamba-hamba Allah yang berserah diri kepada-Nya. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:128. Ibnu Katsir menjelaskan: sesungguhnya salah satu tanda kesempurnaan beribadah kepada Allah adalah senang jika dari keturunannya ada orang yang menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya (Ibnu Katsir: 1:173). Dalam Q.S. Ibrahim [14]:35 juga ditegaskan:

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.’”

Hal ini tidak lepas dari anak saleh, sedekah yang mengalir, dan ilmu yang bermanfaat yang menjadi investasi manusia sepanjang zaman meskipun seseorang sudah meninggal dunia (Ibnu Katsir, 1:173). Nabi Ismail menjadi salah satu kader penerus Nabi Ibrahim dari istrinya, Hajar. Sedangkan Nabi Ishaq adalah kader penerus Nabi Ibrahim dari istrinya, Sarah.

Kelima, menjadi pemimpin visioner dan tidak gentar melakukan pemberantasan kebatilan. Nabi Ibrahim berani mempertaruhkan nyawanya saat menghancurkan berhala. Dalam konteks kepemimpinan Nabi Ibrahim, Allah menjelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:124:

“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.”

Sedangkan dalam konteks memberantas kebatilan, Allah menegaskan dalam Q.S. Al-Anbiya’ [21]:68–71:

“Mereka berkata: ‘Bakarlah dia dan bantulah ilah-ilah kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.’ Kami berfirman: ‘Hai api, jadilah kamu dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.’”

Pemimpin menurut KH. Abdurrahman Wahid harus berani menjadi lokomotif perubahan jika ia yakin bahwa apa yang dilakukan benar. Di sinilah ujian seorang pemimpin dalam menghadapi gelombang protes, cacian, dan cemoohan masyarakat yang dipimpinnya.

Lima progresivitas Nabi Ibrahim di atas menjadi teladan umat Islam sepanjang masa. Di tengah tantangan globalisasi yang sangat kompleks saat ini, lima progresivitas Nabi Ibrahim menjadi sumber inspirasi dan motivasi kuat bagi umat Islam untuk tetap tampil sebagai agen perubahan positif konstruktif. Lima keteladanan Nabi Ibrahim menjadi energi besar umat Islam untuk tampil ke depan dalam melakukan kerja-kerja besar yang bermanfaat bagi orang lain. Jika Nabi Ibrahim atas perintah Allah membangun Ka’bah, maka umat Islam harus meninggalkan legacy (warisan) berharga bagi generasi masa depan yang bermanfaat dalam jangka panjang. Legacy besar dan hebat membutuhkan pengorbanan besar, totalitas komitmen, keberanian menghadapi tantangan, dan kesiapan menepis segala macam cacian yang datang silih berganti. Satu kesuksesan membutuhkan kemampuan menghadapi ribuan tantangan.

Membangun balai kesehatan di setiap kampung adalah salah satu legacy yang sangat dibutuhkan masyarakat. Balai kesehatan membutuhkan kemampuan finansial yang memadai, manajemen profesional, serta kemampuan kolaborasi dan sinergi dengan berbagai kelompok sosial lintas sektoral. Selain itu, membangun perpustakaan di setiap kampung juga merupakan langkah visioner yang harus dilakukan untuk meneruskan progresivitas Nabi Ibrahim dalam mengembangkan nalar berpikir kritis-filosofis.

Anak-anak muda tidak boleh hanya menjadi korban handphone android yang menghabiskan waktu untuk bermain gim bahkan mengakses situs porno. Perpustakaan harus mengisi ruang kosong sebagai taman baca yang menarik bagi semua kalangan, khususnya anak-anak dan remaja. Langkah selanjutnya adalah menggalakkan spirit filantropi di tengah egoisme dan individualisme personal sekarang ini. Spirit filantropi ini akan membentuk jiwa altruisme sosial yang sangat bermanfaat dalam meneguhkan solidaritas sosial universal. Di samping itu, kaderisasi dalam bentuk internalisasi dan intensifikasi pendidikan menjadi keniscayaan sejarah yang tidak bisa dielakkan.

Lembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal harus bersinergi untuk melahirkan kader-kader hebat masa depan. Langkah terakhir adalah berani memimpin perubahan dalam rangka menegakkan kebenaran dan memberantas kejahatan sosial di segala lini kehidupan.

Wallahu A’lam bis Shawab.

*Dr. Jamal Ma’mur, M.A, Dosen Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IPMAFA

A’wan MWC NU Trangkil, Wakil Ketua PCNU Pati

 

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama