nutrangkil.com - Hasil Bahtsul Masail putran ke-29 pada hari Jumat Kliwon, 25 Dzulqo'dah 1446 H / 23 Mei 2025 H di Masjid Jam'i Al Ikhlas Bantengan Trangkil Pati.
As’ilah
Deskripsi. Ada sebuah sumur tua yang sudah diwakafkan untuk musholla, yang airnya dimanfaatkan untuk kepentingan musholla dan masyarakat sekitar. Pada suatu hari sumur tua ini runtuh dan tidak dapat dipakai lagi. Masyarakat sekitar juga tidak mau memperbaiki lagi karena lebih efisien membuat sumur bor, sehingga tanah sumur menjadi terbengkalai.
Pertanyaan:
1. Bolehkah Wakif atau ahli warisnya meminta kembali tanah sumur yang terbengkalai ini, ataukah bisa ditukar guling?
Ranting Pasucen
Jawab
Wakif atau ahli waris tidak boleh meminta Kembali tanah sumur terebut.
Ibarat
أَسنى المَطالِب، ج ٢ ، ص .٤٧
فَلا يَصح الرُجوعُ عَنه سَواءٌ أَحكَم بِه حَاكم أَم لاَ
Artinya: Tidak sah menarik kembali barang yang telah diwakafkan, baik yang telah diputuskan oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang maupun belum.( Asnaa al-Mathaalib juz II halaman 47)
السراج الوهاج ص 305
اَلْأَظْهَرُ أَنَّ الْمِلْكَ فِي رَقَبَةِ الْمَوْقُوفِ يَنْتَقِلُ اِلَى اللهِ تَعَالَى
Artinya “Menurut pendapat yang azhhar dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa kepemilikan pada zat harta-benda yang diwakafkan itu berpindah kepada Allah swt” (Muhammad Zuhri al-Ghamrawi, as-Sirajul Wahhaj, Bairut-Dar al-Ma’rifah, hal. 305).
المُهَذب فِي فِقه الإمام الشافعي - الشيرازي ٢/٣٣١ — أبو إسحاق الشيرازي (ت ٤٧٦)
فَصلٌ: وَإِن وَقف مَسجدًا فخرب المكان وانقطعت الصلاة فيه لم يعد إلى الملك وَلم يجز له التَصرف فيه لأن ما زال المِلك فيه لحق الله تعالى لا يعود إلى الملك بالاختلال كما لو أعتق عبدًا ثم زمن
Fasal : Apabila ada seseorang wakaf masjid kemudian tempat tersebut rusak, dan tidak digunakan sholat, maka tempat tersebut tidak Kembali menjadi hak milik dan juga tidak boleh digunakan oleh pemiliknya dulu. Karena kepemilikannya sudah pindah menjadi haknya Allah bukan milik pribadi seperti apabila seseorang memerdekakan budak kemudian budak itu lumpuh. (Al Muhadzab fi Fiqhi Imam Syafi’I as Syaerozi, juz : 2, hal. 331 )
2. Untuk istibdal/ menggantikan tanah wakaf dengan tanah yang lain ada perbedaan diantara ulama’ madzhab :
Pertama, menurut Ulama’ Syafi’i : tidak diperbolehkan walaupun kondisi tanah rusak.
Kedua, menurut Ulama’ Hanafi : boleh apabila terdapat darurat dan lebih manfaat.
Ketiga, menurut Ulama’ Hambali : diperbolehkan jika tanah pengganti lebih baik daripada tanah yang diganti.
Ibarat.
الشرقاوى ج 2 ص 178
وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ، خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ .
Artinya : "Tidak boleh menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i), walaupun sudah rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya. Contoh kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim yang melihat kebenarannya". (As Syarqawi II/178)
مطالب اولى النهى في شرح غاية المنتهى ج ٤ ص ٣٦٧
يجب بيع الوقف مع الحاجة بالمثل وبلا حاجة يجوز بخير منه للمصلحة ولا يجوز بمثله لفوات التغيير بلا حاجة
Artinya : "Wajib menjual sesuatu yang diwakafkan jika ada hajat atu kebutuhan dengan barang yang setara (mitslihi), jika bukan karena hajat tetapi ada maslahat, maka juka diperbolehkan dengan syarat gantinya harus lebih baik daripada barang yang diwakafkan". (Mathalibu ulin nuha fi syarhi ghoyah almuntaha, juz: 4, hal. 367)