NU Trangkil

Refleksi Gus Qoyyum: Menjaga Marwah Guru dan Madrasah (Muwadda'ah kls XII MA Silahul Ulum Asempapan)

 

Foto Dokumentasi Panitia HUT YSU 2025

Sejarah Ulum-Ulum dan Keteladanan India

Tradisi pendidikan "ulum-ulum" sejatinya telah berkembang lebih dulu di India, bahkan sebelum sampai ke Mekah dan Madinah. Salah satu madrasah tertua dan paling produktif di dunia ada di India, dan hingga kini masih bertahan. Bahkan Universitas Al-Azhar Mesir pernah mengirim dosennya ke India karena begitu alimnya para ulama di sana. Syekh Muhammad bin Alawi al-Maliki pun pernah belajar di India selama delapan bulan.

Di India, kita bisa meneladani istiqamah dan kesederhanaan para gurunya. Di kota Deoband India, misalnya, bahasa pengantarnya menggunakan Urdu dan Inggris karena pengaruh sejarah kolonial. Para guru di sana hidup sangat sederhana: ada yang menyuguhkan tamu hanya tiga buah apel, tapi ketika pulang diberi hadiah kitab Syarah Sunan an-Nasa’i—hadiah kitab ini kalau di Indonesia kelas ulama besar seperti Mbah Sahal Mahfudz.

Di sisi lain, guru-guru di Indonesia cenderung mengejar kenyamanan: mobil baru dari tunjangan sertifikasi, makan di kafe setiap hari, padahal semangat ngajarnya menurun.

Keteladanan Ilmuwan yang Bersahaja

Saya pernah bertemu dengan seorang profesor, semacam “dirjen” madrasah se-India. Kamarnya kecil, kalau tidur kepalanya di dalam, kakinya di luar. Meski ilmunya luar biasa, hidupnya sederhana. Bandingkan dengan sebagian kyai kita: baru punya beberapa jamaah saja sudah bolak-balik umroh. Sementara guru-guru di India tetap mengajar meski tak bergaji besar.

Ada juga Muhammad Akrom dari Darun Nadwah yang menulis kumpulan biografi ulama perempuan ahli hadits hingga 40 jilid, masing-masing setebal 1000 halaman. Tak punya banyak uang, tapi semangat berkaryanya tinggi. Di Indonesia, justru banyak guru yang kebanyakan piknik tapi minim karya.

Semangat Ilmu Tak Terhalang Harta

Saya pernah mengisi kajian Aswaja di Bangil. Ada sekitar 20 santri Persis hendak berangkat ke Mesir, tapi tiket mereka belum tertutupi. Dulu, PM Indonesia M. Natsir sampai rela menjual rumah agar bangsanya bisa berangkat belajar ke Mesir. Sekarang, apa ada guru atau pejabat yang rela begitu?

Nasihat bagi Para Guru

Jangan hanya mengandalkan buku teks. Guru harus memberi ilmu di luar buku agar murid berkembang. Sayyidina Umar sendiri saat mengejar dan melihat murid lelah, mengganti materi dari ayat ke hadits, lalu ke cerita dan hikmah. Ilmu itu luas, bukan sekadar isi modul.
Jangan terlalu banyak main HP. Jangan sibuk bikin status atau selfie yang tidak perlu. Apalagi jika status-nya menjelekkan orang lain—itu haram. Ingat, “Iqra'”—bacalah!, bukan “unggahlah!”
Keteladanan masa lalu. Dulu, guru-guru seperti Mbah Syuyuthi Guyangan dan Mbah Sahal Kajen duduk mengaji kitab dengan muthola’ah, bukan sibuk update media sosial.

Etika dan Akhlak dalam Pengajaran

Datang lebih awal. Seperti Syekh Muhammad bin Alawi al-Maliki yang datang satu jam lebih awal dari majelis, lalu tafakur dan mendoakan murid-muridnya.
Kepada para wali santri jangan ghibah terhadap guru, apalagi menjelekkan ulama. Dalam hadits disebutkan: أن لحوم العلماء مسمومة "daging para ulama itu beracun.” Jika kamu ghibah, itu artinya kamu sedang makan daging beracun, dan bisa jadi kamu akan “keracunan” sendiri.

Himmah ‘Aliyah: Semangat Tinggi dalam Ilmu

Tidak semua harus jadi sarjana—yang penting berilmu. Anak zaman dulu lebih istiqomah dan sungguh-sungguh karena tidak tahu apakah akan naik kelas. Sekarang banyak murid sudah tahu bahwa pasti naik, jadi semangat belajarnya menurun.

Bersyukur dan Menghormati Guru

Kita harus menghargai siapapun yang berjasa: guru, TU, satpam, bahkan penjaga kebersihan. Contohnya, Bu Nyai Jamilah Lasem yang saat dirawat di rumah sakit bahkan sakitnya yang semakin payah,  masih sempat memberi bingkisan pada para perawat sampai penjaga kebersihan rumah sakit. Atau kisah Imam Abu Hanifah, yang memberi hadiah 500 dirham, kalau dibelikan kambing bisa 100 ekor kambing. Hadiah tersebut diberikan kepada guru anaknya karena telah mengajarkan surat Al-Fatihah.

Begitu pula Kyai Masduqi Lasem, mertua dari Kyai Miftahul Akhyar PBNU, yang mengantar langsung anaknya ke madrasah diniyah sebagai bentuk penghormatan.

Jangan Jadikan Guru Target Amarah

Sekarang, guru marah sedikit saja bisa dilaporkan. Padahal dalam Al-Qur’an disebutkan: wa khfid janahaka limanit taba'aka... (rendahkan sayapmu kepada murid yang mengikuti jalanmu). Harus di artikan secara sempurna, memarahi murid itu boleh, asal tetap dengan kasih sayang—jangan keras, tapi juga jangan membiarkan kesalahan.

Jaga Kerukunan Antar Guru

Guru harus rukun, jangan ghibah sesama guru di depan murid. Kalau tidak, akan menjadi contoh buruk dan mencederai martabat keilmuan.

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama