Oleh: Jamal Ma’mur Asmani*
Kasus yang menimpa guru Madrasah Diniyah (Madin) di Karanganyar Demak yang baru viral, Kiai Zuhdi, menyadarkan banyak pihak. Di satu sisi, peran besar guru Madin belum diapresiasi dengan layak oleh Negara dan masyarakat. Gaji yang diterima Kiai Zuhdi jauh dari UMR (upah minimum regional). Di sisi lain, guru Madin menghadapi ancaman pidana yang serius jika melakukan hal-hal yang berbau kekerasan, meskipun dilakukan tidak sengaja dan dalam rangka mendidik santri yang butuh perhatian lebih.
Dalam tulisan ini akan dikaji, bagaimana sebenarnya hukum melakukan kekerasan dalam perspektif fiqh ?
Islam tentu agama yang cinta damai yang membenci kekerasan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, Islam mengajarkan untuk memaafkan kesalahan orang lain, memohon maaf atas kesalahan yang dilakukan, menahan amarah, dan membalas kejelekan dengan kebaikan. Islam menggalang persaudaraan, kebersamaan, dan gotong royong. Kekerasan diperbolehkan dalam Islam dalam kondisi emergency (darurat).
Allah dalam Q.S. Ali Imran 159 menegaskan:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. 3:159)
Dalam ayat di atas jelas bahwa Islam menekankan kelembutan, kasih sayang, memaafkan kesalahan, dan mengajak sharing gagasan kepada semua orang dalam menggerakkan kebaikan. Dakwah yang seperti inilah yang menarik publik sehingga Islam cepet menyebar di seluruh penjuru dunia, khususnya di Indonesia. Walisongo dan para ulama menempatkan moralitas luhur sebagai metode dakwah efektif yang menarik publik sehingga mereka berbondong-bondong masuk Islam.
Menurut KH. Said Agil Munawar (2009), Nabi Muhammad tidak membalas kejelekan dengan kejelekan, namun dengan kebaikan. Hal inilah yang membuat banyak orang kafir masuk Islam karena kagum dengan keluhuran budi Nabi.
Para ulama, seperti para guru, adalah ahli waris Nabi yang harus meneladani metode dakwah Nabi yang menekankan kelembutan dan kasih sayang. Dalam konteks ini, maka wajar jika Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menjelaskan tugas pertama seorang guru adalah mempunyai kasih sayang kepada anak didiknya sebagaimana kasih sayangnya kepada anaknya sendiri. Kasih sayang inilah yang mendorong guru untuk mengedepankan kelembutan dan menghindari cara-cara kekerasan.
Namun, bagaimana hukum memukul dalam kajian fiqh ?
Dalam literatur fiqh dijelaskan bahwa orangtua dan guru diperintahkan mendidik anak dengan sungguh-sungguh dalam hal apa saja yang wajib dilakukan dan apa saja yang dilarang. Dalam hal shalat misalnya, maka anak diperintahkan melakukan shalat ketika berusia tujuh tahun dengan tujuan supaya anak terbiasa melakukan shalat sejak kecil sehingga ketika besar sudah melakukan shalat dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Namun ketika sudah menginjak usia sepuluh tahun, namun masih meninggalkan shalat, maka diperbolehkan memukul anak dengan pukulan yang tidak menyakiti (dlarban ghaira mubarrihin/ mu’limin). Jika memukul yang tidak menyakiti dan memukul yang menyakiti sama-sama tidak mempunyai faedah karena anak sudah kelewat batas, maka jangan memukul. Pendapat ini sesuai dengan pandangan Imam Izzuddin ibn Abdissalam (Syaikh Abi Bakar Syatha, I’anatuth Thalibin, jilid 1, h. 24).
Termasuk memukul yang menyakiti adalah memukul wajah. Oleh sebab itu, Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan haramnya memukul wajah, meskipun dengan tujuan mendidik (Imam Nawawi al-Bantani, Qami’ al-Thughyan, h. 19).
Penulis pernah mewawancarai KH. MA. Sahal Mahfudh dalam masalah hukum memukul suami kepada istrinya. Menurut Beliau, suami boleh memukul istrinya dengan syarat: tidak dalam kondisi emosi, tujuannya mendidik, dan memukul tidak menyakiti, seperti memukul di wajah, perut, dan sejenisnya, yang jelas dilarang. Namun, KH. MA. Sahal Mahfudh lebih memilih diam dari pada melakukan pemukulan meskipun sudah memenuhi syarat karena lebih efektif. Efektivitas sangat penting sebagai ukuran sukses tidaknya melaksanakan ajaran agama.
Dalam kasus Kiai Zuhdi yang sedang viral sudah dijelaskan kepada publik bahwa beliau sudah mengakui perbuatannya dan memohon maaf. Hal ini adalah sesuatu yang sangat baik karena memang manusia adalah tempat salah dan lupa.
Persoalan yang sangat menyesakkan dada dalam kasus ini adalah urusan dengan pihak berwajib dan akhirnya ada denda yang asalnya 25 juta menjadi 12.5 juta. Ini tentu sudah di luar nalar dunia pendidikan.
Kiai Zuhdi sudah mendarmabaktikan hidupnya untuk mendidik generasi masa depan bangsa, meskipun dengan gaji yang sangat kecil dalam durasi waktu yang sangat panjang. Konsistensi perjuangan Kiai Zuhdi ini harus diapresiasi semua pihak supaya tidak mudah menjustifikasi negatif ketika ada kasus yang sebenarnya tidak besar kemudian dibesar-besarkan dan bahkan harus berurusan dengan pihak berwajib. Penulis sebagai guru di madrasah kampung merasakan apa yang dirasakan Kiai Zuhdi. Ketika mengajar dengan beragam latar belakang siswa-siswi, kadang emosinya naik.
Di sinilah pentingnya sinergi guru dan orangtua dalam mendidik anak. Menyerahkan total kepada guru untuk mendidik anak sangat tidak rasional mengingat durasi anak bersama guru sangat minim dan gaji yang diterima di bawah standar. Orangtua harus bersama-sama mendidik anaknya tentang pentingnya sopan santun, hormat kepada guru, dan patuh kepada aturan lembaga pendidikan. Jika terjadi masalah, seperti Kiai Zuhdi, maka solusi yang dipilih adalah kekeluargaan, saling memaafkan dan berdamai.
Jika instrument yang digunakan adalah Undang-Undang, khususnya UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, maka sangat mudah disalahgunakan oknum tertentu yang merugikan semua pihak, khususnya guru.
Akhirnya, sudah saatnya semua pihak melakukan evaluasi, introspeksi dan proyeksi ke depan supaya lembaga pendidikan mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Guru didorong untuk meningkatkan kecerdasan intelektual, sosial, spiritual, dan emosionalnya sehingga tidak melakukan kekerasan fisik dan psikis kepada anak didiknya. Anak didik didorong untuk meningkatkan kemuliaan akhlaknya supaya menghormati guru dengan baik. Dan orangtua harus mendukung program sekolah yang tujuannya tidak lain adalah mengantarkan anaknya menjadi generasi berkualitas tinggi di masa depan.
Wallahu a’lam bish shawab.
*
Guru di Madrasah Kampung
Guru di Madrasah Kampung