NU Trangkil
NU Trangkil

Tiga Kelas Manusia, Dont be Angry




Oleh: Jamal Ma’mur Asmani


Manusia adalah makhluk terbaik yang diciptakan Allah di muka bumi. Maka wajar jika manusia dijadikan sebagai khalifatullah untuk meramaikan bumi dengan kegiatan yang positif konstruktif. Namun potensi manusia untuk merusak bumi dan mengalirkan darah sangat besar. Itulah sebabnya dibutuhkan ilmu dan kebijaksanaan supaya potensi merusak dan mengalirkan darah bisa diantisipasi dengan sukses.

Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, potensi yang diberikan Allah kepada manusia meliputi rasio dan fisik. Potensi rasio menjadi ilmu pengetahuan, teknologi, profesi dan kemampuan rasionalitas yang lain. Potensi fisik melahirkan keterampilan, etos kerja dan ketahanan tubuh dengan kesehatan yang prima. Dalam al-Qur’an dua potensi tersebut dirumuskan dalam terminologi qowiyyun yang berarti mempunyai quwwah (potensi) dan makinun yang berarti mempunyai makanah (ketangguhan). Ini menunjukkan bahwa sebuah prestasi menuntut adanya potensi dan amanah yang keduanya melahirkan kualitas (KH. MA. Sahal Mahfudh, 1994:63-64).

Dalam memecahkan keputusan, manusia diberi kemampuan menggunakan akalnya secara maksimal. Namun akal bukan satu-satunya potensi absolut, karena manusia juga diberi rasa dan nafsu yang saling mempengaruhi ketika mengambil keputusan atau penegasan sikap. Bahkan, kecenderungan nafsu ke aspek yang negatif lebih kuat, khususnya jika kekuatan pikir dan rasa tidak mampu mengendalikannya (KH. MA. Sahal Mahfudh, 1994:111).

Dalam konteks inilah, manusia mempunyai tanggungjawab sosial untuk mengajak melakukan ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran. Di sinilah fungsi dakwah yang melekat dalam diri manusia yang selalu relevan karena kehidupan manusia tidak bisa lepas dari nafsu dan berbagai kecenderungan negatifnya (KH. MA. Sahal Mahfudh, 1994:111-112).

Salah satu cara manusia mengendalikan nafsunya yang cenderung negatif adalah menahan emosi. Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran 3:133-134:

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ { 133} الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {134}

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, (QS. 3:133)

(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. 3:134)

Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan, ayat ini menjelaskan tiga kelas manusia dalam menghadapi kesalahan orang lain.

Pertama, menahan amarah dengan penuh dan menutupnya dengan rapat. Ini menunjukkan perasaan tidak bersahabat masih memenuhi hati, pikirannya masih menuntut balas, tapi ia tidak memperturutkan ajakan hati dan pikiran dengan menahan amarah. Ini menahannya dengan tidak mengekspresikan dengan kata-kata buruk atau perbuatan yang negatif.

Kedua, memaafkan kesalahan orang. Orang memaafkan dengan menghapus bekas luka hati akibat perlakuan orang lain kepadanya. Jika tahap pertama masih ada bekas luka dalam hatinya, pada tahap kedua ini bekas luka hati tersebut dihapus. Seakan-akan tidak pernah terjadi kesalahan apapun.

Ketiga, kelas orang yang dicintai Allah, yaitu orang yang berbuat kebajikan. Pada tahap ini, seseorang tidak sekedar menahan amarah dan menghapus luka, tapi berbuat baik kepada orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.

Nabi Muhammad ketika pamannya Hamzah bin Abdul Muththalib gugur dalam perang dan perutnya dibedah dan hatinya dikunyah Hind, berkata: jika Allah menganugerahkan kepadaku kemenangan atas kaum musyrikin Qurasih pada satu pertempuran, pasti akan kubalas dengan tiga puluh orang musyrik. Allah kemudian menegur Nabi dengan firmanNya : jika kamu membalas, maka balaslah yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, maka sesungguhnya itulah yang lebih baik nagi orang-orang yang sabar (Q.S. an-Nahl 16:126). Pesan ini bukan hanya kepada Nabi, tapi kepada seluruh umat Islam (M. Quraish Shihab, 2021, Volume 2:265-266).

Al-Hafidh Ibnu Katsir dalam tafsirnya Al-Qur’an al-‘Adhim (2011:juz 1:367) menjelaskan banyak hadis Nabi yang menjelaskan keutamaan orang yang menahan amarah. Antara lain:

Sesungguhnya marah dari setan dan sesungguhnya setan diciptakan dari neraka. Sesungguhnya api dipadamkan dengan air. Maka ketika salah satu kamu marah, maka sebaiknya lekas berwudlu’ (Imam Ahmad).

Orang yang menahan marah sedangkan ia mampu melampiaskannya, maka Allah pasti memenuhi hatinya rasa aman dan iman (Imam Dawud).

Orang yang mampu menahan marah dalam posisi ia mampu melampiaskannya, maka Allah mengundang untuknya kepara para pemimpin makhluk, sampai Allah memberikan keleluasaan kepadanya untuk memilih bidadari yang diinginkannya (Imam Ahmad).

Kunci Kemenangan

Orang yang mampu menahan amarahnya berarti akalnya masih berfungsi sehingga yang dipikirkan adalah cara, strategi, dan taktik yang efektif, bukan membalas kejelekan orang dengan kata-kata kotor dan perbuatan merusak.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Baihaqi disebutkan bahwa jihad melawan nafsu adalah jihad akbar (paling besar). Jihadun nafsi ini menjadi kunci kemenangan dalam segala situasi.

Nabi Muhammad adalah teladan agung. Prof. Muhammad Syafii Antonio dalam bukunya ‘Muhammad SAW The Super Leader Super Manager’ menjelaskan bahwa salah satu kunci kemenangan Nabi dalam berjuang adalah tidak mudah marah.

Dalam perang Uhud ketika pasukan panah muslim meninggalkan pos mereka di punggung bukit Uhud yang menjadi sebab kekalahan pasukan Muslim dari musuh, Nabi Muhammad sebenarnya berhak marah, tapi beliau lebih memilih tidak melampiaskan amarahnya. Beliau tetap tenang dan meminta pasukan muslim yang lain untuk tenang.

Sikap yang sama ditunjukkan Nabi ketika pasukan muslim lari kocar kacir di Lembah Hunain, beliau tetap menghadapi kejadian ini dengan tenang. Ketenangan Nabi menginspirasi pasukannya dan menjadikan mereka bersatu dan berhasil memukul mundur pasukan musuh.

Maka wajar jika Nabi bersabda: bukanlah orang yang kuat itu orang yang cepat serangannya, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah (H.R. Bukhari). (M. Syafii Antonio, 2007:280).

KH. Bisri Mustofa dalam tafsir Al-Ibriz (jilid 3:2265) menjelaskan, ketika Mekah berhasil direbut pasukan muslim dan orang-orang Arab yang ada di sekitar Mekah berbondong-bondong masuk Islam, maka perintah Allah kepada Nabi dan umat Islam adalah memuji Allah dan memohon ampunan.

Keterangan Kiai Bisri ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa saat menangpun, yang dibutuhkan adalah mengingat Allah, bukan berpoya-poya dan melampiaskan amarah dengan membalas dendam.

KH. A. Mustain Syafii Tebuireng Jombang menjelaskan bahwa revolusi paling damai di dunia adalah pembebasan kota Mekah di mana tidak ada ajang dendam ketika Nabi dan para sahabatnya meraih kemenangan mutlak.

Keterangan panjang di atas menyadarkan kepada umat Islam bahwa kemenangan diraih dengan ketenangan dengan kemampuan menahan marah sehingga bisa fokus pada agenda perjuangan.

Wallahu A’lam Bish Shawab

*Thalibul ‘Ilmi

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama